Timah mengerem produksi timah

Friday , 26 Aug 2016 01:45

PT Timah Tbk menahan diri dalam memproduksi bijih timah pada tahun ini. Perusahaan pelat merah itu berencana mengurangi volume produksi. Pasalnya, permintaan dari beberapa negara konsumen logam industri masih lesu.

Tak terkecuali China sebagai pasar utama logam industri. Nah, dalam kondisi industri yang tengah lesu tersebut, Negari Panda memilih menggunakan waktu untuk memelihara fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral mentah alias smelter.

Masalahnya, sedikit saja aksi China bakal memberikan dampak yang besar bagi industri logam timah dunia. "Apapun yang terjadi di China, biasanya akan berdampak terhadap semua negara, termasuk soal pemeliharaan smelter," ujar  Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk kepada KONTAN, Kamis (24/8).

Tak heran jika PT Timah memprediksi, porsi penjualan ekspor logam timah tahun ini tak sebesar tahun lalu. Perusahaan berkode saham TINS di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu memproyeksikan, porsi ekspor sepanjang tahun 2016 sebanyak 55%-60% dari total target produksi 25.000 ton logam timah.

Namun begitu, kegiatan eksplorasi PT Timah tetap berjalan secara rutin. Menurut keterbukaan informasi di BEI pada 10 Agustus 2016 kemarin, sepanjang Juli perusahaan itu mengeluarkan Rp 73,87 miliar untuk biaya eksplorasi di Bangka dan Belitung. Perinciannya, Rp 55,81 miliar untuk biaya operasional dan Rp 18,07 miliar untuk biaya investasi.

Kegiatan eksplorasi tersebut menghasilkan penemuan sumber daya baik di darat maupun di laut. Kegiatan eksplorasi di laut mendapatkan sumber daya tereka (inferred) 170 ton, sumber daya tertunjuk (indicated) 962 ton dan sumber daya terukur (measured) 5.189 ton. Semua temuan itu merupakan endapan timah alluvial.

Tren harga naik

Namun manajemen PT Timah bilang, bukan mereka saja yang menjalankan aksi mengurangi produksi. Myanmar misalnya yang merupakan negara produsen timah, sudah menetapkan rencana pemangkasan produksi timah sebesar 5.000 ton pada tahun depan. Jadi, tahun 2017 negara itu hanya akan memproduksi 45.000 ton timah.

Agung menjelaskan, pemangkasan produksi timah itu lebih karena Myanmar tak menemukan cadangan baru dalam beberapa tahun ke depan. Sementara Myanmar harus harus mengubah metode dari penambangan terbuka (open pit) menjadi penambangan bawah tanah (underground) dengan konsekuensi menyedot ongkos produksi lebih besar.

Namun, jika pandai bersyukur, selalu ada berkah di balik musibah. PT Timah memprediksi aksi sejumlah perusahaan baik di dalam negeri maupun luar negeri untuk memangkas produksi justru bakal berdampak positif dalam jangka ke depan. Pertimbangan mereka, pasokan timah dunia yang makin susut justru bisa membantu mendongkrak harga jual timah.

Saat ini saja, harga jual timah di pasar London Metal Exchange (LME) yang menyentuh level US$ 18.000 per ton, sudah melonjak ketimbang tahun lalu. Rata-rata harga jual timah tahun lalu yakni US$ 14.000 per ton-US$ 15.000 per ton. "Jadi artinya kalau memang istilah harga akan naik biasanya ada faktor lainnya. Sebab faktor  produksi dunia masih sulit," ujar Agung.

Dus, PT Timah optimistis minimal sampai akhir tahun level harga tadi bisa bertahan. Sebelumnya, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Utama PT Timah Tbk menyatakan, PT Timah menargetkan pendapatan sebesar Rp 7 triliun. Pertimbangannya, harga timah mencapai US$ 17.480-US$ 18.255 per ton.

 

Sumber : KONTAN.CO.ID